Hikmatiyani Nastiti
Problematika Keimanan | 2
Pendidikan keimanan adalah sebuah urgensititas, namun sayang pendidikan keimanan ini sering terabaikan. Banyak variabel yang menyebabkan, salah satunya adalah ketidakhadiran ayah.
Yang paling cocok dan tepat dalam mendidik keimanan itu adalah sang ayah. Allah sudah memberikan sinyal, yang pertama kali mengazankan anak adalah ayahnya. Maka itu adalah pendidikan keimanan pertama yang ayah berikan kepada anaknya.
Saat ayah tidak hadir karena sibuk mencari nafkah, maka terabaikan dan terbengkalailah pendidikan iman. Semua pendidikan keimanan diserahkan kepada bunda. Padahal apa peran bunda bagi pendidikan anak-anaknya ? Peran bunda adalah mendidik akhlak dan syariat. Maka banyak yang akhirnya melakukan syariat, bunda tidak salah.
Iman tidak bisa diajarkan dengan cerewet dan nyinyir. Semakin iman diajarkan dengan nyinyir, maka anak akan semakin bosan.
Seorang bunda wataknya memang nyinyir dan cerewet karena disiapkan untuk mendidik akhlak. Mendidik akhlak dan syariat itu harus cerewet karena sifat dari pendidikan akhlak dan syarait itu adalah detail, menjelaskan rambu-rambu dan harus diulang-ulang.
Pendidikan iman itu cukup sedikit tapi bermakna.
Lalu, mengapa ayah yang perlu mendidik keimanan? Karena iman itu konfrontatif. Iman itu bicara tentang benar dan salah, Hitam dan putih, lawan dan kawan, antara yang haq dan bathil, antara Allah dengan thagut. Tidak ada abu-abu dalam keimanan, karena berbicara tentang iman dan kafir. Maka ayah adalah sosok yang cocok mendidikkan iman. Karena bunda suka tidak suka konfrontasi. Mendidik iman sifatnya indoktrinatif, menghujam, menekankan, menanamkan, menumbuhkembangkan. Siapa yang cocok dengan pendekatan ini? Ayah.
Iman tidak persuasive. Laa ilaha ilallah. Iman itu tegas. Bicara iman bicara tentang ideologi, keyakinan.
Bunda mengajarkan toleransi, kerjasama, harmonis, sinergis, kesamaan, kebersamaan. Karena itu adalah pesan – pesan akhlak. Rasulullah tidak pernah dibenci karena akhlak. Beliau dicintai karena akhlaknya. Rasulullah dibenci karena imannya.
Bunda itu pendekatannya persuasif, pelan-pelan, mengajak, merayu, mendorong, memfasilitasi. Berbeda dengan Pendidikan Keimanan, pendidikan akhlak sangat persuasive. Ketika ayah tidak lagi hadir dalam Pendidikan anak-anak kita, maka yang pertama kali terbengkalai adalah Pendidikan keimanan. Ini akibat ayah menyerahkan semuanya pada ibu.
Bukannya bunda tidak bisa mengajarkan iman. Tapi yang lebih tepat adalah ayah.
Ketika iman itu tidak eksis, tidak tertanam, tidak mantap pada diri anak-anak kita karena terabaikan. Apa yang tejadi?
1. Kesolehan yang fatamorgana.
Dulu anak kita sudah sholeh, mengagumkan, membuat orang tua terharu. Anak 7 – 12 memang tampil anak yang bagaikan budak dan tawanan, tertib , rapi, teratur, rapi, disiplin. Watak dari usia tsb memang begitu. Maka menyenangkan sekali. Seakan-akan sudah berhasil, sudah bagus sekolah islam mendidik kita. Sayangnya itu semua tidak dimulai dari iman namun lahir dari sebuah pembiasaan tanpa makna.
2. Amal dan ibadahnya tertolak.
Bagaikan debu , yang tertiup angin. Karena semua yang bernilai ibadah dimulai dari niat. Maka ajari anakmu sholat dimulai dari niat. Bukan hanya mengajarkan bacaan sholat. Ajarkan puasa dari niat, ajarkan membaca Al Quran dari niat. Niat itu adanya di hati. Mengajarkan niat artinya mengajarkan kesadaran, keyakinan, mendidikkan pada mereka bahwa mereka perlu melakukan sesuatu karena panggilan jiwa, dorongan hati, keinginan pribadi.
Dampak dari ketiadaan niat, amal dan ibadah bisa hangus tak tercatat , tak terbukukan.
3. Ketika iman itu tidak eksis, akhirnya lahir manusia2 ritualis, bukan manusia spiritualis.
Semua yang dilakukan cuma ritual. Gerak-gerakan yang tidak bermakna. Ritual tapi tidak spiritualis. Baca doa setiap mau makan, entahlah dia tahu maknanya. Syiar tapi tidak dimaknai, tidak dikuasai menaning dan value. Apa hakikat dari spiritual adalah meaning dan value.
Karena tidak dari kesadaran dan keyakinan, semua cuma ritual. Dzikirnya pun hanya ritual.
Allah sudah menjanjikan hanya dengan mengingat Allah, hati merasa tentram. Betapa banyak orang yang sudah banyak mengingat Allah, tapi tidak merasa tentram.
Manusia banyak yang memiliki ekstrinsik religiositias bagus, tapi instrinsik religiositas tidak bagus. Syariat jalan tapi hakikat tidak jalan.
4. Tidak mendapatkan pertolongan Allah.
Allah berjanji kepada orang yang beriman bukan yang bermuslim.
Ketika iman tidak eksis , doa itu hanya sebagai suplemen bukan sesuatu yang inti. Setiap hari kita berdoa namun tidak percaya akan doa kita 100%. Kita menganggap doa-doa itu hanya solusi-solusi tambahan. Kita ragu apakah akan dikabulkan, lalu bagaimana jika tidak ?
Menganggap doa itu spekulatif. Saat kita sakit, doa dilakukan di akhir setelah kita berkeras mencari obat dan vaksin. Padahal kita lupa, yang menyembuhkan adalah Allah lewat perantara obat.
Semoga pendidikan keimanan dijadikan pendidikan yang utama di dalam rumah agar anak-anak kita menjadi anak-anak yang kuat imannya , menghujam seperti akar pohon besar, dan menghasilkan batang yang kuat layaknya ibadah yang terekspresikan karena iman, dan pohon tersebut akan berbuah dengan ranum, layaknya manusia yang memiliki keindahan akhlak.
Share
Penulis
Hikmatiyani Nastiti
Founder Yayasan Bening Indonesia
Topik
Al Izzah Awal Semester Bedah Buku Belajar Berkebun Buku Journey Buku Tahunan Ekstrakurikuler Feminitas Fotografi Hikmatiyani Nastiti Ian Fauziah Inisiatif Inklusi Itikaf Karya Siswa Kelulusan Kemping Kunjungan Kunjungan Kampus Liburan Maskulinitas MPLS Murojaah Nyantri Olahraga PKBM PPDB PPDB SD 2021 Prestasi Safar Safar SD SD SDM Sekolah Bening seminar SL SMA SMP SPS Studi Banding Sumarti M Thahir Talaqqi Wahyudin Yasin