Hikmatiyani Nastiti
Problematika Keimanan | 1
Dahulukan pendidikan keimanan untuk berislam.
Jika kita bertanya kepada para orang tua , “Apakah anak-anak sudah diajarkan iman?”
Mereka menjawab, “Sudah”
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, “Apa yang sudah diajarkan ?”
“Kami sudah mengajarkan sholat, berinfaq, mengaji, menghafal, dll”.
Ayah dan Bunda, sholat, puasa, mengaji, menghafal, berinfaq, naik haji itu adalah tentang keIslaman bukan keimanan. Itu adalah syariat dan bukan akidah.
Di sinilah kita perlu kembali merefleksi diri, jangan-jangan selama ini kita belum mengajarkan keimanan. Kita lebih suka mengajarkan keislaman . Mengapa? Karena memang keislaman bisa diukur. Menghafal Al Quran sebanyak 3 juz, berpuasa sunnah, sholat, itu semua bisa diukur. Dan kita merasa puas dengan ukuran itu, padahal kita tidak pernah tahu apakah alasan mereka melakukan itu semua karena iman atau keyakinan.
Jika dikatakan sholat itu iman, maka orang Yahudi melakukan sholat.
Jika dikatakan mengaji sudah mengajarkan iman, banyak agen rahasia Israel hafal AL Quran.
Jika menghafal al fatihah, burung beo juga menghafal al fatihah.
Jadi, yang bunda ajarkan adalah sebuah ekspresi iman. Bukan iman.
Pendidikan Iman menjadi anak tiri dalam Pendidikan Islam.
Anak emasnya adalah tahfidzul Quran.
Anak kandungnya syariat dan akhlak.
Anak tirinya adalah pendidikan iman dan akidah.
Kenapa anak emas tahfidz Quran? Padahal Rasul SAW berpesan, iman dulu baru Al Quran. Di sinilah kita semua perlu merefleksi diri.
Seharusnya karena keyakinanlah anak-anak akan berpuasa, zakat, sholat, mengaji dan menutup aurat.
Berlomba mendidik Al quran, itu mulia tetapi lebih disebabkan karena menddik hafalan al quran dapat diukur keberhasilannya. Aku hafal 1 juz, 5 surat, 86 ayat, itu bisa diukur.
Semua menarik untuk diajarkan karena terukur bisa dilihat dan bisa diuji.
Anak bisa sholat, bisa dicek dari takbiratul ikhram , bisa dicek bacaannya
Ketika pulang, anak mengucapkan salam. Sebelum makan cuci tangan lalu membaca doa dan mengakhiri makan dengan doa. Masuk ke kamar mandi dengan kaki kiri, membaca doa, dan kita puas bahwa akhlaknya sudah bagus. Sehingga kita lupa membersamai anak dan menghabiskan waktu bersamanya untuk mengenalkan kebesaran dan kasih sayang Allah.
Bagaimana mengukur Iman ?
“Orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” [QS Al Anfal : 2]
Lalu bagaimana cara mengukur getaran hati-hati ?
Jika dibacakan ayat-ayat Allah, bertambah imannya
Bagaimana mengukurnya?
Akan bertambah tawakalnya
Bagaimana mengukurnya?
Tanpa sadar pendidikan islam hanya dijadikan pengujian empiris.
Iman itu akar, di bawah tanah, gak keliatan
Pondasi sebuah rumah. Tidak kelihatan, ada di bawah tanah.
Itu yang menyebabkan pendidikan keimanan menjadi anak tiri.
Anak-anak dididik sholat dan tilawah lewat pembiasaan.
Sholat karena terbiasa, mengaji karena terbiasa.
Semua amal-amal keislamanannya bukan karena kesadaran , tapi karena pembiasaan.
Bahkan sudah dilakukan jauh-jauh sebelumnya.
Jika perlu sholat dilakukan pada saat 5 tahun.
Belajar menutup aurat di usai 7 tahun bersamaan dengan mengajarkan sholat.
Alasan karena pembiasaan bukan karena niat.
Tanpa sadar kita terkagum dan terpukau dengan implementasi ibadah anak-anak kita. Puasa rajin, sholat ke masjid rajin.
Ketika ini proses poembiasaan, saat mereka masuk SMP dan SMA seperti tanpa bekas. Seorang guru membawa kedua anak perempuannya. Mengaji 1 halaman saja sudah tidak mau. Padahal 6 tahun sudah hafal juz 30.
Anak yang dulu sholeh, kemana sekarang? Kok hilang? Fenomena anak hilang.
Pembiasaan itu sering digunakan untuk melatih (maaf) hewan, karena hewan tidak punya kesadaran, tidak mengenal panggilan jiwa. Hewan hanya bisa terampil lewat pembiasaan. Kera bisa naik sepeda roda 1, maka satu-satunya cara adalah dilatih dengan pembiasaan. Jika kera tidak pernah dilatih lagi, maka ketrampilannya itu hilang. Akan dilatih lagi dari nol. Setrampil apapun kera menggunakan sepeda roda 1, dia tidak akan bisa mengajarkan anaknya sepeda roda 1. Pada seekor kera, tidak memiliki behavior.
Apakah manusia tidak bisa dibiasakan? Bisa.
Konsepnya membiasakan diri. Dilakukan sendiri terhadap diri kita atas dasar kesadaran.
Semoga, kita bisa memperbaiki pola pendidikan beriman kepada anak kita , agar semua ibadah yang mereka lakukan lahir dari keyakinan. Bukankah niat adalah sebuah keyakinan? Jangan-jangan, begitu banyak anak-anak kita yang banyak beribadah namun miskin pahala. Mengapa? Karena setiap ibadah yang tidak diniatkan karena Allah, bagaikan debu di atas debu dan habis tertiup angin.
Share
Penulis
Hikmatiyani Nastiti
Founder Yayasan Bening Indonesia
Topik
Al Izzah Awal Semester Bedah Buku Belajar Berkebun Buku Journey Buku Tahunan Ekstrakurikuler Feminitas Fotografi Hikmatiyani Nastiti Ian Fauziah Inisiatif Inklusi Itikaf Karya Siswa Kelulusan Kemping Kunjungan Kunjungan Kampus Liburan Maskulinitas MPLS Murojaah Nyantri Olahraga PKBM PPDB PPDB SD 2021 Prestasi Safar Safar SD SD SDM Sekolah Bening seminar SL SMA SMP SPS Studi Banding Sumarti M Thahir Talaqqi Wahyudin Yasin